30/03/10

Back to (My) Nature

Hai hai...

Back to nature?? Meskipun hari Sabtu lalu dunia bersama-sama merayakan Earth Hour, postingan gw kali ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan Earth Hour tersebut, apalagi yang berbau-bau lingkungan. Nature disini lebih dimaksudkan pada my nature, as a people who learns about taxation.

Setelah cukup lama posting tulisan yang cenderung selfishly, kali ini dengan bangga saya akan menulis beberapa pendapat saya tentang kasus yang lagi panas sekarang. Terkait dengan pernyataan seorang pejabat di Kepolisian yang menyebutkan adanya makelar kasus di lembaga kepolisian yang juga melibatkan aparat di suatu lembaga yang kantornya di Gatot Subroto (sebut saja Direktorat Jenderal Pajak), sebagai akibatnya pemberitaan hampir semuanya mengangkat isu ini sebagai topik utamanya (entah untuk jualan atau memang tanggung jawab profesi :p).

Tapi tentu saja gw nggak akan membahas secara detail, tapi lebih kepada beberapa artikel yang gw baca belakangan ini, yang tentu saja berkaitan dengan apa yang gw sebut sebelumnya.

Yang pertama adalah mengenai penemuan yang menyebutkan bahwa dalam pengadilan pajak, secara keseluruhan dari semua kasus, bila dihitung secara persentase, pemerintah kalah 1-4 dari wajib pajak. Entah kenapa artikel ini pada kesimpulannya, menjadi acuan si peneliti bahwa pemerintah kecolongan potensi penerimaan. Mmmm, gw tidak sependapat dengan hal ini. Mengapa? Karena kesimpulan ini mengesampingkan kemungkinan aparat pajak berbuat keliru dalam penetapan pajak, yang pada akhirnya diajukan keberatan oleh Wajib pajak, dan kalau keberatan tersebut ditolak, maka Wajib Pajak akan melakukan banding. Nah, ketika banding ini, tentu kedua pihak yang berperkara mengajukan alasannya masing-masing untuk membuktikan kebenaran. Bagi sisi wajib pajak, mereka tidak setuju dengan Surat Keputusan Keberatan, dan bagi sisi Fiskus tentu saja membuktikan kebenarannya mengeluarkan keputusan menolak keberatan WP.

Bisa saja kan dalam proses penetapan pajaknya FIskus melakukan kesalahan penghitungan, yang tentu saja si Wajib Pajak keberatan dengan kesalahan tersebut sehingga mengajukan Surat Keberatan. Dan kalau masih ditolak juga, WP akan melakukan banding. Kalau ternyata memang dalam pengadilan terbukti bahwa perhitungan WP benar dan fiskus ternyata salah, ya wajar saja kan kalau WP dimenangkan. Jadi mengenai pendapat bahwa dalam pengadilan pihak pemerintah sering kalah, nggak bisa disimpulkan begitu saja kalau terjadi penyuapan, penyalahgunaan jabatan dll, yang membuat WP menang di pengadilan. Ada kemungkinan, dan saya yakin proporsinya lebih besar, bahwa ada kesalahan dalam penetapan pajak sebelumnya. Yang pada akhirnya terkait dengan kompetensi si Fiskus dalam mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut, kenapa dia bisa salah dalam menghitung pajak yang terhutang. Iya kan? Koreksi terbuka untuk pendapat ini.

Yang kedua, masalah komentar-komentar yang beredar di masyarakat mengenai Ditjen Pajak mencuri uang, yang dibayarkan rakyat dalam bentuk setoran pajak. Menurut gw, Ditjen Pajak tidak mencuri dalam kasus ini, sebaliknya, mereka malah kecurian. Mengapa? Karena Ditjen Pajak tidak menerima apa yang seharusnya mereka terima, melainkan justru beredar diantara si petugas pajak, WP dan pihak-pihak yang terlibat. Sepengetahuan gw, aparat pajak ini tanggung jawabnya ada di bagian keberatan atau banding. Jadi kalau dia mengabulkan keberatan atau banding (dalam pengadilan pajak, yang berarti juga melibatkan hakim), yang menyebabkan Wajib Pajak tidak membayar sesuai dengan jumlah yang seharusnya dibayar, pada akhirnya Ditjen Pajak tidak menerima apa yang seharusnya dia terima karena permainan ini. Jadi pada akhirnya, nggak tepat tuh mendemokan seruan "Ditjen Pajak" menilap duit pajak. Jadi kalau mau demo, ya demoin si aparat pajak itu, karena Ditjen Pajak pun dalam hal ini juga menjadi korban. Masa iya korban disalahin, nggak bener kan??

So kesimpulannya adalah, saya rasa (dengan segala kebodohan yang ada), pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat untuk para aparat pajak. Wacana mengenai pemeriksaan kekayaan oke tuh, tapi gak bisa oleh badan pengawasan internal pajak, melainkan dengan pihak luar yang lebih independen, karena jelas kalau badan internal pajaknya yang memeriksa, ya ada konflik kepentingan lah. Mengenai remunerasi yang diturunkan, kayaknya nggak tepat juga deh, meskipun jujur saya sirik dengan gaji mereka untuk yang baru masuk, setara dengan level seniornya di konsultan pajak (sekitar 4 tahun kerja dari fresh graduate untuk bisa mencapainya). Tanggung jawab mereka besar, lagian secara manusiawi, mereka butuh penghasilan yang cukup untuk hidup. Kayaknya masalah korupsi itu masalah kesempatan yang ada dan juga masalah moral, jadi naik turunnya gaji gw rasa nggak ada hubungannya. Lebih tepat untuk memperketat pengawasannya.

Yah, dengan segala kerendahan hati, saya siap menerima kritik atas tulisan ini, maklumlah saya bukan siapa-siapa di bidang pajak, hehe. Semoga bermanfaat

0 komentar: